Standar Pengelolaan Pendidikan

Putusan Mahkamah Agung yang menolak kasasi pemerintah soal gugatan ujian nasional mencuat pada akhir tahun ini. Kembali, desakan untuk mengkaji ulang dan menghentikan penyelenggaraan ujian nasional menguat.

Persoalannya bukan sekadar tidak adil karena hasilnya menjadi penentu utama kelulusan siswa dari sekolah. Fokus permasalahan yang ingin ditekankan, seperti putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang selanjutnya diperkuat dengan Putusan Mahkamah Agung No 2596 K/PDT/2008, adalah kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, serta akses informasi yang lengkap di semua daerah di Indonesia sebelum mengeluarkan kebijakan pelaksanaan ujian nasional lebih lanjut.

Negara ini sudah mereguk kemerdekaan selama 64 tahun. Namun, ketimpangan kualitas pendidikan antara sekolah negeri dan swasta, perkotaan dan pedesaan, Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa, serta masyarakat kaya dan masyarakat miskin masih menganga lebar.

Kesenjangan kondisi dan kualitas pendidikan itu masih berkutat di persoalan mendasar. Tersedianya guru profesional yang inovatif dan kreatif untuk menciptakan pembelajaran yang menyenangkan belum terpenuhi merata di setiap sekolah. Belum lagi sarana dan prasarana pendidikan mendasar, seperti ruangan kelas, perpustakaan, buku pelajaran, dan laboratorium, banyak sekolah yang belum menyediakan.

Bagi kalangan pengamat pendidikan dan masyarakat luas, kesenjangan pendidikan itu bukanlah dijawab dengan pelaksanaan ujian nasional yang menghabiskan dana ratusan miliar rupiah yang tidak jelas tindak lanjutnya bagi sekolah. Masyarakat mendambakan bisa menikmati layanan pendidikan yang tidak diskriminatif, tetapi yang memenuhi standar nasional.

Badan Standar Nasional Pendidikan bersama Departemen Pendidikan Nasional sudah selesai membuat delapan standar pendidikan nasional yang menjanjikan layanan pendidikan prima. Standar pendidikan di setiap sekolah haruslah memenuhi standar sarana dan prasarana, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar kompetensi lulusan, serta standar isi, standar proses, standar pengelolaan, standar pembiayaan pendidikan, dan standar penilaian pendidikan yang sudah ditentukan secara nasional.

Mutu pendidikan dasar

Namun, standar pendidikan belum juga menasional di semua sekolah, pemerintah sudah sibuk mengembangkan sekolah-sekolah bertaraf internasional yang juga tak jelas arahnya. Kebijakan yang dinilai hanya menimbulkan kasta-kasta sekolah di tengah belum terujinya hasil pendidikan nasional berkontribusi dalam kemajuan sumber daya manusia Indonesia yang mumpuni pada masa depan.

Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh boleh berkilah bahwa yang namanya peningkatan mutu guru, sarana dan prasarana sekolah, serta akses informasi merupakan proses yang terus berlangsung. Pemerintah sedang dalam proses untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pendidikan nasional dengan anggaran minimal 20 persen dari APBN.

Namun, bagi masyarakat, proses peningkatan mutu pendidikan yang dikejar pemerintah tidak jelas arahnya, juga terlalu lama sehingga pemerataan pendidikan berkualitas tak kunjung terealisasi dari Sabang hingga Merauke.

Mutu secara sempit dikaitkan dengan pencapaian intelektualitas semata. Padahal, pendidikan juga merupakan proses pembudayaan sikap-sikap baik yang dibutuhkan untuk menghadapi tantangan kehidupan.

Yang terjadi saat ini, sekolah-sekolah kendur dalam pembentukan karakter, menumbuhkan kreativitas dan inovasi. Masalah-masalah kebangsaan seperti nasionalisme dan kecintaan kepada seni budaya bangsa mulai ditinggalkan.

Yang lebih miris, pendidikan dasar bermutu, yang minimal harus dirasakan semua warga negara, belum juga mampu dipenuhi bangsa ini. Pendidikan dasar gratis, yang mestinya diwujudkan pemerintah, dijalankan setengah hati.

Padahal, sebanyak 52,65 persen dari pekerja di negara ini hanya berpendidikan level SD ke bawah. Tanpa pendidikan dasar yang mumpuni, mereka terus dibayangi hidup dalam lingkaran kemiskinan.

Pendidikan dasar kita masih tertatih-tatih mengejar kualitas. Akses pendidikan dasar saja masih bermasalah. Ada sekitar 2,2 juta anak usia wajib belajar yang tidak sekolah, umumnya karena faktor ekonomi.

Dana bantuan operasional sekolah di SD-SMP yang jauh dari ideal lebih terserap untuk gaji guru dan tenaga sekolah honorer. Anggaran untuk mendukung operasional sekolah yang bisa dirasakan siswa menjadi terpangkas.

Berdasarkan data Departemen Pendidikan Nasional, pada 2008 tercatat baru 32 persen SD yang memiliki perpustakaan, sedangkan di tingkat SMP sebanyak 63,3 persen. Ruang kelas di SD hampir 50 persen dari 891.594 ruang kelas masuk kategori rusak ringan dan berat.

Guru yang dinilai tidak layak mengajar, baik dari segi kualifikasi pendidikan maupun profesionalisme, sebagian besar justru guru di tingkat TK-SD. Tahun lalu tercatat sekitar 88 persen guru TK tak layak dan di tingkat SD sekitar 77,85 persen.

Pengamat pendidikan HAR Tilaar mengatakan, arah kebijakan pendidikan Indonesia ini semakin tidak jelas. Proses belajar yang tercipta mulai tingkat SD mengandung nilai paksaan, menakut-nakuti, dan mengembangkan sikap terabas.

Hak anak untuk berkembang sesuai potensi dan kemampuannya lewat pendidikan sedini mungkin justru semakin terabaikan.

Menurut dia, jika di level SD saja pendidikan berkualitas tidak bisa dicapai, pasti akan berpengaruh pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Lydia Freyani Hawadi, guru besar psikologi pendidikan Universitas Indonesia, berpendapat, pendidikan di Indonesia belum melihat siswa sebagai individu yang unik sehingga perlu pembelajaran yang tidak seragam. Kegagalan pendidikan untuk memahami kebutuhan dan potensi unik setiap siswa itu mengakibatkan kualitas pendidikan yang tidak sesuai harapan. Akibat lebih jauh, daya saing dan kualitas sumber daya manusia Indonesia rendah di dunia internasional.

Oleh karena itu, reformasi pendidikan di Indonesia perlu juga meneropong hal-hal yang substansial, yakni peserta didik sebagai subyek. Karakteristik pembelajar yang sangat beragam dari sisi potensi, minat, bakat, motivasi, gaya belajar, budaya, dan ekonomi harus digali lebih mendalam.

Tidak cukup sertifikasi

Sementara itu, komitmen peningkatan kualitas dan profesionalisme guru yang dilaksanakan pemerintah bagi sekitar 2,8 juta guru yang mesti selesai pada tahun 2015 dianggap masih terjebak formalitas. Padahal, kebijakan yang dibutuhkan pendidik adalah adanya pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan.

Ketika Departemen Pendidikan Nasional menetapkan visi 2010-2014 sebagai terselenggaranya layanan prima pendidikan nasional, tersedianya guru yang mumpuni tidak bisa ditawar.

Pendidikan nasional mesti bisa membangun manusia yang berjiwa kreatif, inovatif, sportif, dan wirausaha. Perlu penyelarasan pendidikan dengan kebutuhan dunia usaha dan industri.

Karena itu, tantangan yang mesti segera terjawab adalah menerapkan standar pendidikan nasional tanpa pilih-pilih. Semua anak bangsa mesti menikmati layanan pendidikan yang memenuhi standar nasional.

Dikutip dari : http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/23/02455732/standar.pendidikan.belum.menasional.

1 komentar:

  1. Pendidikan merupakan hal yang sangat berpengaruh dalam sebuah kehidupan. Tanpa pendidikan manusia tidak dapat mengetahui apa-apa, tidak dapat membaca dan menulis. Maka dari itu diwajibkan setiap manusia mendapatkan pendidikan yang layak. Pendidikan itu ada yang formal dan non formal. Contoh pendidikan formal adalah sekolah-sekolah SD,SMP,SMA dan Perguruan Tinggi. Sedangkan pendidikan non formal adalah seperti kursus-kursus keterampilan.
    Dalam setiap pendidikan di sebuah institusi pasti ada standar pengelolaan. Standar pengelolaan ini bertujuan untuk memberikan kenyamanan pada setiap orang yang menggunakan fasilitas pada pendidikan. Tidak hanya pada fasilitas saja standar pengelolaan pendidikan itu diterapkan tetapi ada juga standar pengelolaan pendidikan yang meliputi tersedianya guru yang profesional dan kreatif, ruangan kelas yang baik, perpustakaan, buku pelajaran, laboratorium.
    Pengelolaan yang harus dilakukan itu harus sesuai standar pengelolaan pendidikan di Indonesia agar pendidikan dapat berjalan dengan baik. Sebagia contoh yaitu belum banyak tersedia guru yang profesional dan kreatif. Masih banyak guru yang dalam mengajar hanya mengandalkan CBSA (Catat Buku Sampai Habis). Metode ini tidak akan ada gunanya bagi anak didik karen hanya mencatat saja. Ini karena guru tersebut mungkin sedang malas mengajar atau ada keperluan lain. Apabila guru berhalangan untuk mengajar lebih baik diserahkan kepada guru piket atau guru pengganti yang akan mengajar. Cara ini akan lebih efektif daripada menerapkan metode CBSA tersebut. Contoh lain adalah pengelolaan ruang kelas. Ada ruang kelas yang kotor padahal disekolah tersebut ada yang mengurus kebersihan sekolah termasuk kebersihan kelas, sebab apabila kelas kotor maka anak didik akan merasa tidak nyaman dalam belajar. Mereka merasa terganggu akan debu-debu atau kotoran-kotoran yang ada diruang kelas yang dapat menimbulkan nyamuk.Sebaiknya pengelolaan itu dilakukan dengan benar-benar, jangan setengah-setengah dalam pengelolaan pendidikan karena itu sangat berpengaruh terhadap hasil yang dicapai oleh pendidik ataupun anak didik.

    BalasHapus